Asal
Penamaan
Dinamakan
bulan Rajab, dari kata rajjaba – yurajjibu yang artinya mengagungkan.
Bulan ini dinamakan Rajab karena bulan ini diagungkan masyarakat Arab.
(keterangan Al Ashma’i, dikutip dari Lathaiful Ma’arif, hal. 210)
Keutamaan
Bulan Rajab
Bulan Rajab
termasuk salah satu empat bulan haram.
Allah ta’ala berfirman:
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ
عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ
يَوْمَ
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus..” (QS. At Taubah: 36)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ
وَالأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ
مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبٌ شَهْرُ
مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya
zaman berputar sebagaimana kondisinya, ketika Allah menciptakan langit dan
bumi. Satu tahun ada dua belas bulan, diantaranya empat bulan haram. Tiga bulan
ber-turut-turut: Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan: Rajab suku
Mudhar, yaitu bulan antara Jumadi (tsaniyah) dan sya’ban.” (HR. Al Bukhari
& Muslim)
Keterangan:
Disebut “Rajab suku Mudhar” karena suku Mudhar adalah suku yang paling menjaga kehormatan bulan Rajab, dibandingkan suku-suku yang lain. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi batasan: antara Jumadil (tsaniyah) dan sya’ban, sebagai bentuk menguatkan makna. (Umdatul Qori, 26/305)
Ada yang menjelaskan, disebut “Rajab suku Mudhar” untuk membedakan dengan bulan yang diagungkan suku Rabi’ah. Suku Rabi’ah menghormati bulan Ramadhan, sementara suku Mudhar mengagungkan bulan Rajab. Karena itu bulan ini dinisbahkan kepada suku Mudhar.
Disebut “Rajab suku Mudhar” karena suku Mudhar adalah suku yang paling menjaga kehormatan bulan Rajab, dibandingkan suku-suku yang lain. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi batasan: antara Jumadil (tsaniyah) dan sya’ban, sebagai bentuk menguatkan makna. (Umdatul Qori, 26/305)
Ada yang menjelaskan, disebut “Rajab suku Mudhar” untuk membedakan dengan bulan yang diagungkan suku Rabi’ah. Suku Rabi’ah menghormati bulan Ramadhan, sementara suku Mudhar mengagungkan bulan Rajab. Karena itu bulan ini dinisbahkan kepada suku Mudhar.
Hadis
Dlaif Terkait Bulan Rajab
1.
Hadis: “Sesungguhnya di surga ada
sebuah sungai, namanya sungai Rajab. Airnya lebih putih dari pada susu, lebih
manis dari pada madu, siapa yang puasa sehari di bulan Rajab maka Allah akan
memberi minum orang ini dengan air sungai tersebut.” (Riwayat Abul Qosim At
Taimi dalam At Targhib wat Tarhib, Al Hafidz Al Ashbahani dalam kitab Fadlus
Shiyam, dan Al Baihaqi dalam Fadhail Auqat. Ibnul Jauzi mengatakan
dalam Al Ilal Al Mutanahiyah: Dalam sanadnya terdapat banyak perawi yang
tidak dikenal, sanadnya dhaif secara umum, namun tidak sampai untuk dihukumi
palsu.)
2. Hadis : “Allahumma baarik lanaa
fii rajabin wa sya’baana wa ballighnaa Ramadhaana.” (Riwayat Ahmad, dan di
sanadnya terdapat perawi Zaidah bin Abi Raqqad, dari Ziyadah An Numairi.
Tentang para perawi ini, Imam Bukhari mengatakan: Munkarul hadis. An Nasa’i
mengatakan: Mungkarul hadis. Sementara Ibn Hibban menyatakan: hadisnya tidak
bisa dijadikan dalil)
3. Hadis: “Sesungguhnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah puasa setelah Ramadhan, selain di
bulan Rajab dan Sya’ban.” (Riwayat Al Baihaqi. Ibn Hajar mengatakan: ini
adalah hadis munkar, disebabkan adanya perawi yang bernama Yusuf bin Athiyah,
dia orang yang dhaif sekali.- Tabyinul Ajbi, hal. 12)
4.
Hadis : “Rajab adalah bulan Allah,
Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.” (Riwayat Abu
Bakr An Naqasy. Al Hafidz Abul Fadhl Muhammad bin Nashir mengatakan: An Naqasy
adalah pemalsu hadis, pendusta. Ibnul Jauzi, As Shaghani, dan As Suyuthi
menyebut hadis ini dengan hadis maudlu’)
5. Hadis : “Keutamaan Rajab dibanding
bulan yang lain, seperti keutamaan Al Qur’an dibanding dzikir yang lain.”
(Ibn Hajar mengatakan: Perawi hadis ini ada yang bernama As Saqathi, dia adalah
penyakit dan orang yang terkenal sebagai pemalsu hadis).
6. Hadis : “Rajab adalah bulan Allah
Al Asham. Siapa yang berpuasa sehari di bulan Rajab, atas dasar iman dan
ihtisab (mengharap pahala) maka dia berhak mendapat ridla Allah yang besar.”
(Hadis palsu, sebagaimana penjelasan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah)
7. Hadis: “Barangsiapa yang berpuasa
tiga hari bulan Rajab, Allah catat baginyu puasa sebulan penuh. Siapa yang
puasa tujuh hari maka Allah menutup tujuh pintu neraka.” (Hadis maudlu,
sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudlu’at, 2/206)
8. Hadis : “Siapa yang shalat maghrib
di malam pertama bulan Rajab, setelah itu dia shalat dua puluh rakaat, setiap
rakaat dia membaca Al Fatihah dan surat Al Ikhlas sekali, dan dia melakukan
salam sebanyak sepuluh kali. Tahukah kalian apa pahalanya? ….lanjutan hadis:
Allah akan menjaga dirinnya, keluarganya, hartanya, dan anaknya. Dia dilindungi
dari siksa kubur, …“(Hadis maudlu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam
Al Maudlu’at, 2/123)
9.
Hadis : “Siapa yang puasa di bulan
Rajab dan shalat empat rakaat…maka dia tidak akan mati sampai dia melihat
tempatnya di surga atau dia diperlihatkan.” (Hadis maudlu, sebagaimana
keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudlu’at, 2/124, Al Fawaid Al
Majmu’ah, hal. 47)
10. Hadis : Shalat Raghaib: “Rajab
bulan Allah, Sya’ban bulanku, dan Ramadlan bulan umatku… namun janganlah kalian
lupa dengan malam jum’at pertama bulan Rajab, karena malam itu adalah malam
yang disebut oleh para malaikat dengan Ar Raghaib. Dimana apabila telah berlalu
sepertiga malam, tidak ada satupun malaikat yang berada di semua lapisan langit
dan bumi, kecuali mereka berkumpul di ka’bah dan sekitarnya. Kemudian Allah
melihat kepada mereka, dan berfirman: Wahai malaikatKu, mintalah apa saja yang
kalian inginkan. Maka mereka mengatakan: Wahai Tuhan kami, keinginan kami
adalah agar engkau mengampuni orang yang suka puasa Rajab. Allah berfirman: Hal
itu sudah Aku lakukan. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Siapa yang berpuasa hari kamis pertama di bulan Rajab, kemudian shalat antara
maghrib sampai isya’ – yaitu pada malam jum’at – dua belas rakaat…’” (Hadis
palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudhu’at, 2/124 –
126, Ibnu Hajar dalam Tabyinul ‘Ujbi, hal. 22 – 24, dan As Syaukani
dalam Al fawaid Al Majmu’ah, hal. 47 – 50)
11. Hadis: “Barangsiapa yang shalat
pada malam pertengahan bulan Rajab, sebanyak 14 rakaat, setiap rakaat membaca
Al Fatihah sekali dan surat Al Ikhlas 20 kali…..” (Hadis palsu, sebagaimana
keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudhu’at, 2/126, Ibnu Hajar dalam Tabyinul
‘Ujbi, hal. 25, As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 50)
12. Hadis: “Sesungguhnya bulan Rajab
adalah bulan yang agung, siapa yang berpuasa sehari, Allah akan mencatat
baginya puasa seribu tahun…”(Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul
Jauzi dalam Al Maudhu’at, 2/206 – 207, Ibnu Hajar dalam Tabyinul
‘Ujbi, hal. 26, As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 101,
As Suyuthi dalam Al Lali’ Al Mashnu’ah, 2/115)
Bulan
Rajab Dalam Pandangan Masyarakat Jahiliyah
Masyarakat
jahiliyah sangat menghormati bulan Rajab. Ini terlihat dari banyaknya acara
peribadatan pada bulan ini. Diantara ritual ibadah mereka di bulan rajab adalah
menyembelih binatang, yang disebut ‘Athirah atau Rajabiyah.
Mereka persembahkan sembelihannya untuk sesembahan mereka. Mereka juga berpuasa
di bulan Rajab, kemudian diakhiri dengan menyembelih ‘Athirah. Masyarakat
jahiliyah juga melarang keras adanya peperangan yang terjadi bebepatan di bulan
Rajab.
Disamping itu, mereka memberikan banyak nama untuk bulan Rajab. Ada yang menyebutkan, bulan ini memililki 14 nama. Diantaranya: Syahrullah, Rajab, Rajab Mudhar, Munshilul Asinnah, Al Asham, dll. Bahkan ada yang menyebutkan, bulan ini memiliki 17 nama. Sedangkan masyarakat memiliki kaidah, bahwa sesuatu yang memiliki banyak nama itu menunjukkan bahwa hal itu adalah sesuatu yang mulia.
Disamping itu, mereka memberikan banyak nama untuk bulan Rajab. Ada yang menyebutkan, bulan ini memililki 14 nama. Diantaranya: Syahrullah, Rajab, Rajab Mudhar, Munshilul Asinnah, Al Asham, dll. Bahkan ada yang menyebutkan, bulan ini memiliki 17 nama. Sedangkan masyarakat memiliki kaidah, bahwa sesuatu yang memiliki banyak nama itu menunjukkan bahwa hal itu adalah sesuatu yang mulia.
Dulu
masyarakat jahiliyah memilih bulan Rajab untuk mendo’akan orang yang mendhalimi
mereka, dan biasanya do’a itu dikabulkan. Hal ini pernah disampaikan kepada
Umar bin Khattab, kemudian beliau mengatakan: Sesungguhnya Allah memperlakukan
hal itu kepada untuk menjauhkan hubungan antara satu suku dengan suku yang
lain. Dan Allah jadikan kiamat sebagai hari pertanggung jawaban.
Disebutkan
dalam sebuah riwayat, dari Kharshah bin Al Har, bahwa beliau melihat Umar bin
Khatab memukuli telapak tangan beberapa orang, sampai mereka letakkan tangannya
di wadah, kemudian beliau menyuruh mereka: Makanlah (jangan puasa). Karena
dulu, bulan ini diagungkan oleh masyarakat jahiliyah. (HR. Ibn Abi Syaibah dan
sanadnya dishahihkan Al Albani)
Amalan
Sunnah di Bulan Rajab
Tidak terdapat
amalan khusus terkait bulan Rajab. Baik bentuknya shalat, puasa, zakat, maupun
umrah. Mayoritas ulama menjelaskan bahwa hadis yang menyebutkan amalan bulan
rajab adalah hadis bathil dan tertolak.
Ibn Hajar
mengatakan: Tidak terdapat riwayat yang shahih, bisa untuk dijadikan dalil
tentang keutamaan bulan Rajab, baik bentuknya puasa sebulan penuh atau puasa di
tanggal tertentu bulan rajab atau shalat tahajjud di malam tertentu. Keterangan
saya ini telah didahului oleh ketengan Imam Abu Ismail Al Harawi. (Tabyinul
Ujub bimaa warada fii Fadli Rajab, hal. 6)
Imam Ibn
Rajab mengatakan: “Tidak terdapat dalil yang shahih, yang menyebutkan adanya
anjuran shalat tertentu di bulan Rajab. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan
shalat Raghaib di malam jum’at pertama bulan rajab adalah hadis dusta, bathil,
dan tidak shahih. Shalat Raghaib adalah bid’ah menurut mayoritas ulama.” (Lathaiful
Ma’arif, hal. 213)
Terkait
masalah puasa di bulan Rajab, Imam Ibn Rajab juga menegaskan, tidak ada satupun
hadis shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan
puasa bulan Rajab secara khusus. Hanya terdapat riwayat dari Abu Qilabah, bahwa
beliau mengatakan: “Di surga terdapat istana untuk orang yang rajin berpuasa di
bulan Rajab.” Namun riwayat bukan hadis. Imam Al Baihaqi mengomentari
keterangan Abu Qilabah: “Abu Qilabah termasuk Tabi’in senior, beliau tidak
menyampaikan riwayat itu selain hanya kabar tanpa sanad.” (Lathaiful Ma’arif,
hal. 213)
Pertama,
Puasa Sunnah bulan haram
Akan tetapi, jika seseorang melaksanakan puasa di bulan Rajab dengan niat puasa sunnah di bulan-bulan haram maka ini dibolehkan, bahkan dianjurkan. Mengingat sebuah hadits yanng diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, Al Baihaqi dan yang lainnya, bahwa suatu ketika datang seseorang dari suku Al Bahili menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta diajari berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan: “Puasalah sehari tiap bulan.” Orang ini mengatakan: “Saya masih kuat, tambahkanlah!” “Dua hari setiap bulan”. Orang ini mengatakan: “Saya masih kuat, tambahkanlah!” “Tiga hari setiap bulan.” orang ini tetap meminta untuk ditambahi. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah di bulan haram dan berbukalah (setelah selesai bulan haram).” (Hadis ini dishahihkan sebagaian ulama dan didhaifkan ulama lainnya). Namun diriwayatkan bahwa beberapa ulama salaf berpuasa di semua bulan haram. Dinataranya: Ibn Umar, Hasan Al Bashri, dan Abu Ishaq As Subai’i.
Akan tetapi, jika seseorang melaksanakan puasa di bulan Rajab dengan niat puasa sunnah di bulan-bulan haram maka ini dibolehkan, bahkan dianjurkan. Mengingat sebuah hadits yanng diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, Al Baihaqi dan yang lainnya, bahwa suatu ketika datang seseorang dari suku Al Bahili menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta diajari berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan: “Puasalah sehari tiap bulan.” Orang ini mengatakan: “Saya masih kuat, tambahkanlah!” “Dua hari setiap bulan”. Orang ini mengatakan: “Saya masih kuat, tambahkanlah!” “Tiga hari setiap bulan.” orang ini tetap meminta untuk ditambahi. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah di bulan haram dan berbukalah (setelah selesai bulan haram).” (Hadis ini dishahihkan sebagaian ulama dan didhaifkan ulama lainnya). Namun diriwayatkan bahwa beberapa ulama salaf berpuasa di semua bulan haram. Dinataranya: Ibn Umar, Hasan Al Bashri, dan Abu Ishaq As Subai’i.
Kedua,
Mengkhususkan Umrah di bulan Rajab
Diriwayatkan bahwa Ibn Umar pernah mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan umrah di bulan Rajab. Kemudian ucapan beliau ini diingkari A’isyah dan beliau diam saja. (HR. Al Bukhari & Muslim)
Umar bin Khatab dan beberapa sahabat lainnya menganjurkan umrah bulan Rajab. A’isyah dan Ibnu Umar juga melaksanakan umarah bulan Rajab.
Diriwayatkan bahwa Ibn Umar pernah mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan umrah di bulan Rajab. Kemudian ucapan beliau ini diingkari A’isyah dan beliau diam saja. (HR. Al Bukhari & Muslim)
Umar bin Khatab dan beberapa sahabat lainnya menganjurkan umrah bulan Rajab. A’isyah dan Ibnu Umar juga melaksanakan umarah bulan Rajab.
Ibnu Sirin
menyatakan, bahwa para sahabat melakukan hal itu. Karena rangkaian haji dan
umrah yang paling bagus adalah melaksanakan haji dalam satu perjalanan sendiri
dan melaksanakan umrah dalam satu perjalanan yang lain, selain di bulan haji. (Al
Bida’ Al Hauliyah, hal 119).
Dari
penjelasan Ibn Rajab menunjukkan bahwa melakukan umrah di bulan Rajab hukumnya
dianjurkan. Beliau berdalil dengan anjuran Umar bin Khatab untuk melakukan
umrah di bulan Rajab. Dan dipraktekkan oleh A’isyah dan Ibnu Umar.
Diriwayatkan Al Baihaqi, dari Sa’id bin Al Musayib, bahwa A’isyah radliallahu ‘anha melakukan umrah di akhir bulan Dzulhijjah, berangkat dari Juhfah, beliau berumrah bulan Rajab berangkat dari Madinah, dan beliau memulai Madinah, namun beliau mulai mengikrarkan ihramnya dari Dzul Hulaifah. (HR. Al Baihaqi dengan sanad hasan)
Diriwayatkan Al Baihaqi, dari Sa’id bin Al Musayib, bahwa A’isyah radliallahu ‘anha melakukan umrah di akhir bulan Dzulhijjah, berangkat dari Juhfah, beliau berumrah bulan Rajab berangkat dari Madinah, dan beliau memulai Madinah, namun beliau mulai mengikrarkan ihramnya dari Dzul Hulaifah. (HR. Al Baihaqi dengan sanad hasan)
Namun ada
sebagian ulama yang menganggap umrah di bulan Rajab tidak dianjurkan. Karena
tidak ada dalil khusus terkait umrah bulan Rajab. Ibnu Atthar mengatakan:
Diantara berita yang sampai kepadaku dari penduduk Mekah, banyaknya kunjungan
di bulan Rajab. Kejadian ini termasuk masalah yang belum kami ketahui dalilnya.
Bahkan terdapat hadis yang shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Umrah di bulan Ramadhan nilainya seperti haji.” (HR. Al
Bukhari)
Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh mengatakan, bahwa para ulama mengingkari sikap
mengkhususkan bulan Rajab untuk memperbanyak melaksanakan umrah. (Majmu’
Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/131)
Kesimpulan:
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, mengkhususkan umrah di bulan Rajab adalah perbuatan yang tidak ada landasannya dalam syariat. Karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan anjuran mengkhususkan bulan Rajab untuk pelaksanaan umrah. Disamping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan umrah di bulan Rajab, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, mengkhususkan umrah di bulan Rajab adalah perbuatan yang tidak ada landasannya dalam syariat. Karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan anjuran mengkhususkan bulan Rajab untuk pelaksanaan umrah. Disamping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan umrah di bulan Rajab, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya.
Andaikan
ada keutamaan mengkhususkan umrah di bulan Rajab, tentu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam akan memberi tahukan kepada umatnya. Sebagaimana beliau
memberi tahu umatkan akan keutamaan umrah di bulan Ramadlan. Sedangkan riwayat
dari Umar bahwa beliau menganjurkan umrah di bulan Rajab, yang benar sanadnya
dipermasalahkan.
Ketiga,
Menyembelih hewan (Atirah)
Atirah adalah hewan yang disembelih di bulan Rajab untuk tujuan beribadah.
Ulama berselisih pendapat tentang hukum atirah.
Atirah adalah hewan yang disembelih di bulan Rajab untuk tujuan beribadah.
Ulama berselisih pendapat tentang hukum atirah.
Pendapat pertama,
athirah dianjurkan. Dalilnya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ‘Athirah, kemudian
beliau menjawab: “Athirah itu hak.” (HR. Ahmad, An Nasa’i dan As Suyuthi
dalam Jami’us Shaghir)
Pendapat kedua,
atirah tidak disyariatkan, namun tidak makruh. Dalilnya, hadis dari Abu Razin,
Laqirh bin Amir Al Uqaili, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam: Kami menyembelih hewan di bulan Rajab di zaman Jahilliyah. Kami
memakannya dan memberi makan tamu yang datang. Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak masalah.” (HR. An Nasa’i, Ad
Darimi, dan Ibn Hibban)
Pendapat ketiga,
atirah hukumnya makruh. Berdasarkan hadis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Tidak ada Fara’a dan tidak ada Atirah.” (HR. Al
Bukhari & Muslim)
Fara’a adalah anak pertama binatang, yang disembelih untuk berhala.
Fara’a adalah anak pertama binatang, yang disembelih untuk berhala.
Pendapat keempat,
atirah hukumnya haram. Ini adalah pendapat yang dipilih Ibnul Qoyim dan Ibnul
Mundzir. Ibnul Qoyim mengatakan: “Dulu masyarakat arab melakukan atirah di masa
jahiliyah, kemudian mereka tetap melakukannya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam mendukungnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarangnya, melalui sabdanya: “Tidak ada fara’a dan tidak ada atirah.”
akhirnya para sahabat meninggalkannya, karena adanya larangan beliau. Dan telah
dipahami bersama, bahwa larangan itu hanya akan muncul, jika sebelumnya ada
yang melakukannya. Sementara tidak kita jumpai adanya satupun ulama yang
mengatakan: Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang atirah
kemudian beliau membolehkannya kembali…” (Tahdzib Sunan Abu Daud, 4/92 –
93). InsyaaAllah, pendapat inilah yang lebih mendekati kebenaran.
Bid’ah-Bid’ah
di Bulan Rajab
Bid’ah
yang umumnya terjadi di bulan Rajab adalah mengkhususkan bulan ini untuk
melakukan amal ibadah tertentu, seperti puasa shalat malam, shalat Raghaib, dan
semacamnya. Mereka yang melakukan hal ini biasanya berdalil dengan hadis dhaif
dan hadis palsu. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengatakan: Mengkhususkan bulan
Rajab…. untuk berpuasa dan i’tikaf, tidak terdapat riwayat dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para sahabatnya, dan tidak pula dari
para ulama kaum muslimin masa silam. Sebaliknya, disebutkan dalam hadis yang
shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpusa Sya’ban. Dan
beliau tidak berpuasa dalam satu tahun yang lebih banyak dari pada puasa beliau
di bulan Sya’ban. (HR. Al Bukhari & Muslim).” (Majmu’ Fatawa, 25/
290 – 291)
Syaikhul
Islam juga mengatakan: Sesungguhnya mengagungkan bulan Rajab (dengan
memperbanyak amal) termasuk perbuatan bid’ah yang selayaknya dihindari.
Demikian pula menjadikan bulan Rajab sebagai momen khusus untuk melaksanakan
puasa, termasuk perbuatan makruh (dibenci), menurut Imam Ahmad dan beberapa
ulama lainnya. (Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, 2/624 – 625)
Secara
khusus ada beberapa amalan bid’ah yang sering dilakukan di bulan Rajab,
diantaranya adalah:
Pertama, Shalat Raghaib
Bid’ah ini berdasarkan satu hadis palsu yang panjang, menceritakan tentang tata cara shalat Raghaib, do’a-do’anya, dan janji pahala yang akan diperoleh bagi setiap orang yang melaksanakannya dengan sempurna. Para ulama telah sepakat bahwa hadis tentang shalat Raghaib adalah hadis palsu. As Syaukani mengatakan: “Para ulama pakar hadis telah sepakat bahwa hadis tentang shalat Raghaib adalah hadis palsu.” (Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 47 – 48). keterangan yang sama juga disampaikan oleh Al Fairuz Abadzi As Syafi’i.
Bid’ah ini berdasarkan satu hadis palsu yang panjang, menceritakan tentang tata cara shalat Raghaib, do’a-do’anya, dan janji pahala yang akan diperoleh bagi setiap orang yang melaksanakannya dengan sempurna. Para ulama telah sepakat bahwa hadis tentang shalat Raghaib adalah hadis palsu. As Syaukani mengatakan: “Para ulama pakar hadis telah sepakat bahwa hadis tentang shalat Raghaib adalah hadis palsu.” (Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 47 – 48). keterangan yang sama juga disampaikan oleh Al Fairuz Abadzi As Syafi’i.
Imam Ibnul
Jauzi mengatakan: “Orang yang membuat hadis ini menetapkan aturan bahwa orang
yang hendak melaksanakan shalat Raghaib harus berpuasa terlebih dahulu di siang
harinya. Kemudian dia tidak boleh berbuka sampai melaksanakan shalat maghrib
dan shalat sunah Raghaib. Dalam shalat ini, dia harus membaca tasbih panjang
sekali dan bacaan sujud yang sangat panjang. Sehingga orang yang melaksanakan
amalan ini akan merasakan keletihan yang luar biasa. Sungguh saya merasa
cemburu dengan Ramadlan dan shalat tarawih. Bagaimana seseorang lebih memilih
shalat ini dibandingkan puasa Ramadlan dan tarawih. Namun sebaliknya,
masyarakat lebih memilih dan lebih memperhatikan shalat ini, sehingga orang
yang tidak pernah shalat jamaah-pun ikut menghadirinya.” (Al Maudhu’at, 2/125 –
126)
Kedua, Peringatan Isra’ dan Mi’raj
Tanggal 27 Rajab menjadi satu agenda penting bagi kaum muslimin. Mereka meyakini bahwa pada tanggal itu terjadi peristiwa isra dan mi’raj. Padahal para ulama berselisih pendapat tentang tanggal terjadinya isra – mi’raj. Disebutkan oleh Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarokfuri, ada sekitar 6 pendapat ulama, terkait dengan tanggal kejadian isra – mi’raj. Salah satunya adalah tanggal 27 Rajab tahun ke-10 setelah beliau diutus sebagai nabi. Namun pendapat ini tertolak, karena para ahli sejarah menegaskan bahwa Khadijah meninggal di bulan Ramadlan tahun kesepuluh setelah kenabian. Sampai Khadijah meninggal belum ada kewajiban shalat lima waktu.
Tanggal 27 Rajab menjadi satu agenda penting bagi kaum muslimin. Mereka meyakini bahwa pada tanggal itu terjadi peristiwa isra dan mi’raj. Padahal para ulama berselisih pendapat tentang tanggal terjadinya isra – mi’raj. Disebutkan oleh Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarokfuri, ada sekitar 6 pendapat ulama, terkait dengan tanggal kejadian isra – mi’raj. Salah satunya adalah tanggal 27 Rajab tahun ke-10 setelah beliau diutus sebagai nabi. Namun pendapat ini tertolak, karena para ahli sejarah menegaskan bahwa Khadijah meninggal di bulan Ramadlan tahun kesepuluh setelah kenabian. Sampai Khadijah meninggal belum ada kewajiban shalat lima waktu.
Para ulama
sepakat bahwa peringatan isra – mi’raj adalah acara bid’ah. Ibnul Qoyim menukil
keterangan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, yang mengatakan: “Tidak diketahui dari
seorang-pun kaum muslimin, yang menjadikan malam isra – mi’raj lebih utama
dibandingkan malam yang lainnya. Lebih-lebih menganggap bahwa malam isra lebih
mullia dibandingkan lailatul qadar. Tidak seorang-pun sahabat, maupun tabi’in
yang mengkhususkan malam isra dengan kegiatan tertentu, dan mereka juga tidak
memperingati malam ini. Karena itu, tidak diketahui secara pasti, kapan tanggal
kejadian isra – mi’rah.” (Zadul Ma’ad, 1/58 – 59)
Ibnu Nuhas
mengatakan: “Memperingati malam isra – mi’raj adalah bid’ah yang besar dalam
urusan agama. Termasuk perkara baru yang dibuat-buat teman-teman setan.” (Tanbihul
Ghafilin, hal. 379 – 380. Dinukil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 138)
***
Muslimah.or.id
Penulis: Ust Ammi Nur Baits
Muslimah.or.id
Penulis: Ust Ammi Nur Baits
0 komentar:
Posting Komentar