Diary
Terakhir denganmu
12 Mei 2011 pukul 18:29
Diary Terakhir denganmu…….
“………Kehadirannya itu membuatmu
berubah, engkau tidak lagi sedingin es. Engkau mulai terasa hangat, namun tetap
saja aku tidak pernah melihat cahaya cinta dari matamu untukku, seperti aku
melihat cahaya yang penuh cinta itu berpendar dari kedua bola matamu saat
memandanginya meski dalam fatamorgana……”
Kubiarkanlah engkau memilih cara
terbaik bagi kehidupanmu sendiri, karena adalah hak mu juga untuk hidup dalam
cara yang nyaman bagimu. Ku kan mengerti bahwa; Berubah itu sangat sulit. Dan
aku tak kan paksa orang yang merasa sulit untuk berubah. Sangat sulit untuk
memaksa diri ini untuk melakukan perubahan, bahkan yang kecil, walau pun untuk
yang penting. Bagiku lebih mudah untuk tidak berubah, dan meneruskan hidup
dalam kesulitan. Maka, aku tak kan paksa orang untuk berubah. Perubahan itu
tidak mudah, terutama untuk memperbaiki kualitas hidup. Lebih mudah meneruskan
apa adanya, walau pun tidak mudah hidup dalam kesulitan. Maka aku tak kan
mengganggumu yang sulit berubah, walau pun itu untuk kebaikanmu sendiri.
Biarkanlah engkau mengutamakan yang mudah sekarang, karena engkau tidak
keberatan dengan kesulitannya.
Engkau yang tak letih mencari, akan
akhirnya menemukan dirimu tak lagi menunduk mencari. Engkau akan menengadah ke
langit, karena langitlah tempat berkumpulnya wajah yang mencari. Engkau
meminta, telah lama meminta; tetapi engkau belum menerima pemberian yang kau
minta. Engkau mencari, telah lama mencari; tetapi engkau belum menemukan yang
kau cari.
Dan dengan waktu yang berjalan
lamban dan berat dalam rasa mu, semua yang kau minta dan semua yang kau cari –
mendidih lambat-lambat di dalam panasnya hatimu yang mulai beku, dan kegalauan
mu menyeruak keluar dari relungan ketidak-sabaranmu untuk menjadi kegelisahan
utama mu. Kegelisahan utama mu adalah sebuah pertanyaan; Mengapakah sulit bagi
mu untuk merasa damai?
Dalam setiap sujudku, aku
bertanya-tanya – jika hidup ini sulit, mengapakah ada orang yang hidupnya
mudah? Jika hidup ini ujian, mengapakah ada orang yang mudah lulus?
Jika hidup ini sementara, mengapakah
kegelisahan dan penantian ku lama? Jika hidup ini hanya mampir untuk minum,
mengapakah air tidak mendamaikan mu? Apakah engkau penting? Apakah akan ada
bedanya – engkau ada atau tidak pernah ada? Jika engkau penting, mengapakah
kemudahan tidak berpihak kepadaku dalam upayaku untuk menjadi pribadi yang
penting? Jika aku diperhatikan, mengapakah aku sering harus berlaku bagai pengemis
cintamu? Jika ada tujuan yang penting bagi kehadiran mu dalam kehidupan ini,
mengapakah sulit bagimu menemukan arah yang menyemangati?
Dalam tengadah wajahku ke langit,
kulihat hatimu menunduk sedih, dan dengan getar gagu kelopak mata mu yang
menggantikan gerak bibir mu dalam menyuarakan pedih hatimu, aku bertanya
lambat-lambat …Jika aku dicintai, mengapakah aku demikian sedih? Tidakkah aku
pantas bagi sedikit perhatian? Demikian kurang kah yang kurang pada ku, sehingga
aku harus memamerkan kekurangan ku, untuk mengundang kasih sayang? Masih kurang
letih kah aku dalam penantian ku, Tidakkah aku berhak bagi sedikit kasih
sayang? Demikian terpinggirkan kah aku, sehingga aku tidak terhitung? Demikian
salah kah aku, sehingga aku pantas bagi pelupaan? Lalu, siapa kah yang
menyayangi ku? Siapa kah yang akan memeluk ku lagi? Aku tidak tahu mengapa aku
menangis, tetapi ke mana lagi aku bersandar jika bukan kepada tangis ku?
Seandainya ini bukan hanya rasa yang kurindukan. Lembutnya rasa telapak tangan
yang penuh kasih menyentuh pipi ku. Bibir ku akan mengejarnya, seperti mulut
bayi yang haus. Kudekap tanganmu, kuciumi harum keramahannya. Dan nafas ku
bertanga-tangga melalui bibir yang tak mampu terkatup – meratapkan rasa syukur
ke langit dalam kesedihan kesendirian ku.
Seandainya ada orang di luar sana
yang hatinya penyayang. Seandainya dia menemukan ku. Dia pasti akan duduk
dekat-dekat bersama ku. Senyumnya yang ramah mengijinkan aku untuk menangis
haru. Wajahnya yang mengerti, mengubah pedih tangis ku menjadi sejuknya
sentuhan sutra yang ditenun dari wangi melati. Sesengguk tangis ku menumpahkan
semua sedih ku, berserakan di antara kaki ku yang bisu tertidur.
Melolong aku dalam tangis ku, bukan
lagi karena kepedihan, tetapi karena aku menikmati
bahwa tangisan orang yang menemukan
kasih sayang adalah tangisan yang berbahagia.
Aah … betapa tipisnya pemisah antara
tangis yang melukai dan tangis yang mengobati.
Aku baru hanya membayangkan kasih
sayang, tetapi pengertian itu telah mulai mewajarkan pedih ku, karena mungkin
saja tangan yang ramah itu sedang lebih bersedih daripada aku. Tetapi, untuk
pribadi seperti itu, bahkan mungkin kepedihannya adalah kebahagiaannya, karena
dengan pedih hatinya – dia mengerti betapa hati yang sedang bersedih –
membutuhkan uluran tangan yang ramah.
Ow …,
sekarang aku mengerti …
Baru membayangkan saja – bahwa ada
tangan yang mengulur ramah kepada ku, aku telah terangkat dari kesedihan ku,
tanpa betul-betul diangkat. Aku lebih damai. Ternyata, aku bisa tetap merasa
damai di atas semua kekurangan, kelemahan, dan keterpinggiran ku. Sekarang aku
mengerti bahwa tugas utama ku bukan untuk tidak kekurangan, bukan untuk tidak
lemah, dan bukan untuk diketengahkan; tugas pertama ku adalah untuk menjadi pribadi
yang damai.
Damai jiwa ku adalah kekayaan ku
yang pertama. Jiwa yang damai adalah kekayaan yang utuh, yang menjadi sandaran
bagi semua kekayaan. Jika jiwa ku damai, aku tidak harus memenuhi semua aturan
kekayaan yang dipantaskan oleh orang lain untuk diri mereka.Dengan jiwa yang
damai, aku menjadi cukup untuk diri ku sendiri, dan apa pun yang kulakukan
setelahnya adalah untuk kebaikan orang lain.
Sekarang aku tersenyum. Sekarang aku
tahu, bahwa kesedihan hatiku adalah jalan dari pinggir untuk menduga-duga arah
menuju kebahagiaan ku. Dalam akal ku yang sekarang terbebas dari mimpi
buruknya, aku melihat bahwa pengertian ku adalah jalan besar menuju kebahagiaan
ku. Dan dalam pengertian ku yang lebih menerima, aku tahu bahwa keterbukaan
hati adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan.
Sekarang aku mengetahui. Tidak ada
kesedihan yang akan berlama-lama melemahkan ku.
Tidak ada kemarahan yang akan
berliar-liar mempermalukan diri ku. Dan tidak ada kesombongan yang akan
berpalsu-palsu merendahkan ku. Sekarang aku tahu. Hanya orang yang tidak
sepenuhnya tahu yang masih membutuhkan keyakinan. Dia yang tahu tidak perlu
keyakinan, apalagi diyakinkan. Dia yang tahu – tahu.
Pengetahuan itu telah cukup bagimu,
Kamu yang tahu bahwa Allah itu ada, … tahu.
Jangan lagi berupaya meyakinkan
orang yang tahu. Tidak ada keyakinan yang lebih kuat
daripada pengetahuan. Kamu yang
berpendidikan tetapi masih membutuhkan peyakinan untuk yakin – adalah orang
yang belum berpengetahuan.
Entah apa yang telah kau sebabkan
pada ku, tetapi sekarang pertanyaan yang menjadi kegelisahan utama ku, tidak
lagi menyayat sepedih dulu. Tapi mengapakah sulit bagi mu untuk merasa
damai? Aku sekarang menjadi heran, mengapa dulu aku menangis dalam
pertanyaan itu?
Dan kumengagumi kalimat ini :
”Berlian akan menjadi sangat
berharga bila berada pada tekanan yang tinggi. Begitu juga dengan manusia,
semakin dia berada dalam penderitaan, akan semakin kuat dirinya......”
0 komentar:
Posting Komentar